Apakah itu Farmakovigilans?

 

Farmakovigilans adalah Ilmu atau aktivitas yang berkaitan dengan deteksi, penilaian, pemahaman dan pencegahan efek samping obat atau berbagai masalah lain yang berkaitan dengan pemakaian obat (WHO, 2002).

Sejarah Farmakovigilans

Farmakovigilans diawali dengan tragedi Thalidomide pada tahun 1959-1961. Thalidomide merupakan obat yang memiliki indikasi sebagai antiemetik (mengatasi mual dan muntah) pada hyperemesis gravidarum (mual dan muntah / morning sickness yang muncul berlebihan selama hamil). Thalidomide sendiri sudah dipasarkan selama 9 tahun mulai tahun 1951 tetapi baru dilaporkan kejadiannya pada bulan desember tahun 1961 oleh seorang dokter kandungan Australia yang bernama William McBride. Pada saat itu belum ada farmakovigilans sehingga beliau mengirimkan surat kepada Lancet yang disebut McBride’s letter yang berisikan bahwa ada hubungan antara kecacatan lengan dan kaki pada bayi dari wanita yang telah menggunakan thalidomide selama kehamilan. Kekhawatiran McBride tentang thalidomide kemudian dikonfimasi oleh para peneliti di Eropa, dan obat tersebut dilarang di seluruh dunia sehingga menyelamatkan banyak bayi dari lahir dengan cacat lahir. Setelah ditelusuri dan data terkumpul, bahwa sudah ada sepuluh ribu bayi yang mengalami cacat yang diakibatkan oleh thalidomide. Tragedi thalidomide menyadarkan semua pihak akan adanya keterbatasan uji klinik obat dan menginisiasi perkembangan sistem farmakovigilans di berbagai negara.

Tujuan Farmakovigilans

1) Meningkatkan kualitas perawatan dan keselamatan pasien.

2) Meningkatkan kesehatan dan keselamatan masyarakat.

3) Berperan serta dalam menilai manfaat, bahaya, efektivitas dan risiko obat.

Orang Penting dalam Farmakovigilans:

1) Pemerintah

Badan POM, Kementerian Kesehatan di tingkat pusat dan daerah serta Pemerintah Daerah.

2) Industri Farmasi

Sebagai produsen dan pemegang izin edar wajib menerapkan farmakovigilans.

3) Tenaga Kesehatan

Dokter, Apoteker, Perawat, Bidan yang secara langsung berhubungan dengan pasien dan praktik pemberian obat kepada pasien harus melaksanakan monitoring efek samping obat dan melaporkannya.

4) Masyarakat

Dapat melaporkan setiap ESO (Efek Samping obat) yang dialami kepada Industri Farmasi, Tenaga Kesehatan atau melalui BPOM Mobile.

Dampak dari munculnya Efek Samping Obat (ESO)

1) Dapat menimbulkan biaya yang cukup signifikan sehingga harus kita cegah dengan cara banyak melakukan pelaporan efek samping obat (ESO) sebagai bagian dari farmakovigilans.

2) ESO juga dapat menyebabkan kegagalan terapi dan turunnya kepercayaan pasien terhadap pengobatan. Hal ini dapat berdampak pada kegagalan program kesehatan nasional yang bertujuan untuk mengeliminasi/eradikasi penyakit tertentu, sehingga diperlukan beberapa tindak lanjut.

Alur Pelaporan Efek Samping Obat (ESO)/Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)

        ⇰ Pelaporan ESO/KTD dari Industri Farmasi atau dari Tenaga Kesehatan

a. ESO yang ingin dilaporkan, hal pertama yang harus dilakukan yaitu harus menginput laporan pada Database https://e-meso.pom.go.id

b. Kedua, dilakukan validasi data berupa verifikasi kelengkapan laporan.

c. Ketiga, bila laporan ESO/KTD sudah lengkap, dilakukan validasi manifestasi ESO. Namun, bila laporan ESO belum lengkap, maka laporan Follow Up disampaikan segera ke Badan POM.

d. Setelah itu, dilakukan proses penilaian manfaat-risiko atau penilaian kasualitas.

e. Terakhir, data yang sudah selesai melalui proses diatas, maka ata dialirkan ke WHO (World Health Organization).

         Pelaporan ESO/KTD oleh masyarakat

a. Masyarakat disupervisi oleh Tenaga Kesehatan melaporkan ESO/KTD melalui BPOM Mobile (https://bpommobile.pom.go.id) atau telepon ke Halo BPOM (1500533).

b. Kedua, dilakukan validasi data berupa verifikasi kelengkapan laporan.

c. Ketiga, bila laporan ESO/KTD sudah lengkap, dilakukan validasi manifestasi ESO. Namun, bila laporan ESO belum lengkap, maka laporan Follow Up disampaikan segera ke Badan POM.

d. Setelah itu, dilakukan proses penilaian manfaat-risiko atau penilaian kasualitas.

e. Terakhir, data yang sudah selesai melalui proses diatas, maka ata dialirkan ke WHO (World Health Organization).

Diakhir tulisan ini, saya ingin mengajak kita sekalian untuk MARI KITA LAPORKAN EFEK SAMPING OBAT/ESO SEBANYAK-BANYAKNYA. MARI KITA KERJAKAN BERSAMA-SAMA DEMI PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA YANG LEBIH BAIK. Terimakasih.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Patofisiologi Thalassemia

Terapi Pneumonia Komunitas (Community Acquired Pneumonia/CAP)

FDA: Obat antidepresan dapat meningkatkan risiko bunuh diri.