Peran Kefarmasian dalam Meningkatkan Pelayanan Kesehatan
Farmasi
sesungguhnya adalah tenaga kesehatan profesional yang berperan memberikan
kontribusi besar bagi negara dan dunia karena dapat sangat mengurangi total
biaya perawatan dan lama rawat inap (LOS) serta berkontribusi untuk hasil
klinis yang lebih baik.
Setiap
tanggal 25 September, dunia Internasional memperingati Hari Farmasi
Internasional, yang dikukuhkan saat HUT Ke-97 Federasi Farmasi Internasional
(FIP) pada tanggal yang sama tahun 2009.
Berdasarkan
catatan sejarah, bayang-bayang pelayanan kesehatan yang buruk selalu menghantui
peradaban manusia. World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa seluruh
tenaga kesehatan profesional memainkan peran sentral yang penting dalam
meningkatkan akses dan kualitas perawatan kesehatan bagi masyarakat.
Sebagai
lembaga internasional paling berpengaruh di bidang Farmasi dan telah menjalin
kerjasama dengan WHO, Federasi Farmasi Internasional (FIP) diharapkan menjadi
lembaga farmasi dunia yang aktif membangun hubungan praktisi dan ilmuwan
farmasi serta dapat meningkatkan kesehatan global. Salah satu upaya untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan secara global di bidang farmasi adalah melakukan
praktik “asuhan kefarmasian” atau pharmaceutical
care sesuai dengan aturan yang berlaku serta memenuhi syarat kompetensi dan
etik kefarmasian.
Pengertian
asuhan kefarmasian menurut Prof. Linda Strand adalah komponen praktik
kefarmasian yang merupakan interaksi langsung antara apoteker dengan pasien
dalam rangka merawat kebutuhan obat pasien. Praktisi menentukan kebutuhan
pasien sesuai kondisi penyakit dan praktisi membuat komitmen untuk meneruskan
pelayanan setelah dimulai secara berkesinambungan. Terbentuknya asuhan
kefarmasian bertujuan “mewujudkan pengobatan yang jelas sehingga mendapatkan
“hasil” atau outcome yang jelas yaitu
meningkatkan kualitas hidup pasien”.
Peran Farmasi
Jika
melihat dari tujuan FIP, peran farmasi yang dianggap kurang nyata dalam memberikan
kontribusi yang optimal dibidang pelayanan kesehatan dapat diatasi dengan
memperkuat ikatan antar farmasi, memperkaya ilmu yang up-to-date di bidang kefarmasian, dan tentunya menjalin hubungan
kerjasama dengan tenaga kesehatan professional lainnya demi satu tujuan yaitu meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan. Selama ini kurangnya kerjasama antar farmasi
dengan tenaga kesehatan lainnya di pelayanan dapat menimbulkan konflik dan
seringkali tidak tercapainya keberhasilan terapi obat. Farmasi sebagai garda
depan informasi di bidang obat-obatan memiliki peran nyata dalam meningkatkan pelayanan
kesehatan.
Farmasi
selama ini menjadi profesi yang termarjinalkan. Stereotip masyarakat dan tenaga
kesehatan lainnya terhadap farmasi yang dianggap sebagai ”penjaga apotek” turut
memperkuat inferiorisasi terhadap profesi farmasi. Selain itu, farmasi juga
terjebak pada kegiatan teknis yang kemudian mengisolasinya dari hiruk-pikuk asuhan
kefarmasian. Ketika berbagai konflik besar di bidang kesehatan menjadi
perbincangan masyarakat dunia, apa yang dapat dilakukan farmasi?
Sejarah
telah membuktikan bahwa farmasi sebenarnya memiliki tanggungjawab kepada pasien
secara langsung. Prof. Linda Strand dalam jurnalnya yang berjudul American Journal of Hospital Pharmacy,
menjelaskan bagaimana farmasi menjadi garda depan dalam mencegah atau
mendeteksi dan menyelesaikan masalah terkait obat (DRP). Beliau mencatat bahwa
ada 140.000 pasien yang meninggal dan 1 juta pasien dirawat di Amerika Serikat
pada tahun 1971 dikarenakan reaksi obat yang merugikan (ADR) dan FDA juga melaporkan
pada tahun 1987 bahwa 12.000 pasien meninggal dan 15.000 dirawat karena
penyebab yang sama. Biaya morbiditas terkait obat di Amerika Serikat
diperkirakan mencapai 7 juta dolar setiap tahun dan ADR dapat meningkatkan lama
rawat inap pasien. Setelah kejadian tersebut, farmasi dari belahan dunia mulai
melaporkan kejadian masalah terkait obat dari rumah sakit tempat mereka bekerja
dan penelitian menunjukkan layanan farmasi dapat sangat mengurangi total biaya
perawatan dan lamanya rawat inap serta dapat berkontribusi untuk hasil klinis
yang lebih baik. Mereka mengumpulkan data, mencari tahu penyebab masalah
terkait obat (DRP), mengidentifikasi kategori yang termasuk ke dalam DRP, dan
menyusun strategi.
Salah
satu penelitian menunjukkan bahwa DRPs menyebabkan 56,8% pasien memerlukan
penggantian terapi, 22,5% kasus membutuhkan tambahan terapi, atau menyebabkan
waktu rawat inap yang lebih lama sebesar 20,8%. Kesalahan pengobatan dan efek
samping obat menjadi salah satu penyebab memungkinkan yang berpengaruh signifikan
secara klinis (prevalensi 4.6– 12.1%) terhadap dirawatnya pasien di rumah sakit
(masuk rumah sakit). Namun, masuknya pasien ke rumah sakit karena mengalami
efek samping obat (salah satu kasus DRPs) sesungguhnya dapat dihindari. Disinilah
diperlukan kehadiran seorang farmasi untuk mencegah terjadinya DRPs dan mengatasi terjadinya DRPs pada pasien
agar pengobatan pasien jelas sesuai kondisi penyakitnya sehingga pasien bisa
sembuh dari penyakitnya dan terlebih lagi kualitas hidup pasien meningkat.
Dalam
hal ini, kita melihat bahwa farmasi di pelayanan sebenarnya dapat menjadi
pahlawan untuk menyelamatkan dunia dari buruknya kualitas pelayanan akibat
masalah terkait obat. Dengan kata lain, mereka dapat menjadi ”diplomat kesehatan”
dengan melakukan berbagai upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien melalui
kegiatan mengidentifikasi, menyelesaikan dan mencegah terjadinya masalah
terkait obat.
Thank you!
BalasHapusinformatif sekali 👍
BalasHapusTerimakasih kakak apoteker hotna. Semoga sehat selalu.
HapusKeren... Terimakasih infonya..
BalasHapusSama-sama ibu apoteker dewi. Semoga sehat selalu ya bu.
HapusSelamat Hari Dokter Nasional.
BalasHapusSemoga bisa selalu bekerjasama dengan baik.